Bismillaah..
Di pantai parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
Ya, ingin sekali dirinya mengeluarkan beban
sekian tahun disini. Dengan teriakan dan jeritan khas perempuan. Sepuasnya.
Tapi hal itu tidak dilakukannya. walau dirinya sangat ingin. ketika dulu
dirinya pernah memanggilnya penuh cinta. Dengan menyebut dia : Kakak.
'Dek, kita semakin tua. Beberapa kerabat kita
bahkan ada yang sudah pergi mendahului. Mungkin, kakak juga akan menyusulnya.
Entah bagaimana caranya..... lelaki itu mendesah. Tak mampu menyelesaikan
kalimatnya.
'Kak, lama adek menunggumu. Salahkah diri ini
jika jujur padamu? Sekian tahun didera kerinduan. Tak pernah melihatmu. Hanya
kabar-kabar biasa. Potret usang yang engkau kirimkan, dimana sajakmu selalu
menyertai. Selalu aku simpan. Menjadi penguat hati. Menjadi embun sejuk pagi
hari'.
Detak jantung perempuan itu bergetar hebat.
Bahkan debur ombak di pantai pun tak mampu menutupi hawa kepedihan di hatinya.
Ia merasa sesak usai mengatakan itu. Berharap, laki-laki yang sekian lama
menjadi 'kakaknya' mengakui sesuatu. Menyatakan apa yang ia inginkan.
Laki-laki itu menoleh ke belakang sebentar.
Tak mungkin memandang paras ayu itu lama-lama, sebentar kemudian dia berpaling.
'Kakak tahu dek. kakak sebenarnya
mencintaimu. Tak ada perempuan lain. Tapi, hidup terasa jauh. Ketika aku
mengembara ke setiap hutan-hutan dan gunung. Sedangkan engkau, laut. Terbiasa
mendengar ombak. Kita terpisah ribuan kilometer. Benar-benar sepi. Kukira, aku
mencintai sepi. Dimana Alloh senantiasa terasa dalam jiwaku. Memelukku pada
hening malam. Penuh bintang-bintang. Kadang rembulan'. setelah berkata demikian
ia menunduk dalam.
dan perempuan itu, menatap punggung si
lelaki. Yang menjadi kenangan. Yang mengajarinya tentang cinta saat ketika ia
masih belia.
'Kak, jika benar engkau mencintaiku. Kenapa
dulu tidak lantas menemuiku. Menjemputku dan kita menikah. Bukan dengan cara
seperti ini, mengajakku ke tempat seperti ini. walau disini banyak orang, tetap
saja kita bukan mahrom. dan hari ini pun aku bimbang, harus menganggapmu apa.
Bahkan engkau tak bersedia menatap kembali wajahku. Sedetik pun..'
perempuan itu lalu berlinang airmata. Ia
menangis. Entah kenapa ia seperti ini. Yang ia sadari, ia adalah makhluk lemah.
Kadang kala pikirannya tertutupi khayalan bernama cinta.
'Maafkan kakak dek. Tidak sepantasnya aku
sebagai kakakmu seperti itu. Membuatmu menunggu. Sayang ketika kakak akan
datang kudengar kabar engkau telah dikhitbah orang. Tak mungkin aku mendatangimu.
Pantang aku merebut hak orang. Adalah haram hukumnya bagi laki2 yg mendatangi
perempuan untuk mengkitbah sedangkan ia sudah dikitbah orang lain. Apa lagi ia
saudaraku seiman. Aku tidak diijinkan pergi turun gunung oleh ibuku. Bagi
kakak, titah ibu adalah perintah Allah..'
Laki-laki itu terdiam sejenak. Memikirkan
sesuatu. Sebuah kata-kata yang hendak ia sampaikan. Sebuah beban, sebuah
kenyataan. Benar-benar pahit.
'lalu laki2 itu melanjutkan ucapannya:
'Ketahuilah. Aku mencintaimu dek. Sampai kapan pun. Aku yakin, jika hari ini
sampai selanjutnya kita takkan pernah bertemu. Maka di syurga kelak kita akan
bertemu. Itu pun bila kebaikan kita lebih berat dari dosa kita. Tapi, kakak
mohon maaf. Cintaku tak sebesar dulu. Apalagi seluas suamimu...'
'Kenapa kak? Apakah ada yang salah?,
Perempuan itu menjerit tertahan. Ia tidak ingin suaranya didengar orang2 yang
menjadi pengunjung pantai selatan parang tritis itu..
'Hidup tidak sekadar cinta dek. Ada yang
lebih dari itu. yaitu sebuah proses. Jika kau telah mengalaminya berkali-kali
pasti mengerti. Aku takkan menjawab pertanyaanmu. Justru akulah yang ingin
menanyakan sesuatu padamu. Jika diberi dua pilihan, manakah yang engkau pilih?
Dan kenapa? Yaitu: menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang
dinikahi.”
'Adek tidak tahu kak. Bila jawaban itu begitu
penting buatmu, maka adek lebih memilih opsi pertama. Kakaklah yang adek
harapkan menjadi imamku. Pembimbingku, penguat jiwaku. Cahaya hatiku.
Percayalah!'.
'Ya. Sepenuhnya aku percaya padamu. Sayang
sekali dek, untuk saat ini pilihan itu kurang tepat. akan selalu ada skala
prioritas dalam sebuah cinta. Kau tahu? Keluarga lebih penting. Bukan ambisi
pribadi. Jangan kau rusakkan hati dengan masa lalu kita. Toh, aku tetap
kakakmu. Meski tidak seakrab dulu...'.
Hati perempuan berjilbab itu makin perih.
Tapi ia sadar, kata-kata kakaknya ada benarnya. Karena status sekarang adalah
seorang ibu. Ummi dari seorg mujahid kecil yang lucu.
'Dek, jika ingin sempurna kebahagiaanmu. Maka
pilihlah opsi kedua. Cintailah orang yang menikahimu. Maka, opsi pertama akan
muncul setelahnya. Insya Alloh barokah. Karena kakak yakin, Alloh pasti
memberikan kemudahan untukmu. Biarlah kakak mengarungi hidup sendiri. Bagiku,
kau takkan terhapus waktu. Adekku satu-satunya, inspirasiku. Puisi Illahiku.
Pulanglah ke suamimu. Sampaikan maafku dan salam padanya..'.
Lelaki itu mencoba menghibur perempuan yang
sekian lama menjadi ‘adiknya’. Takdir Allah tidak mempertemukan mereka
menghalalkan cinta mereka yg telah bersemi bertahun-tahun. Ia sedih. Bahkan
lebih sedih dan sakit daripada perempuan itu. Tapi ia tidak mau berlarut-larut
dalam kisah melankolis yang membabat ulu hatinya.
Baginya, ia bahagia sendirian. Ia merasa
cukup dengan kesunyian. Dengan Allah yg selalu bersamanya ditemani hamparan alam. Dimana ia berjuang sendirian
dalam dinginnya udara gunung dan terjalnya batu cadas.
Perempuan itu lantas berbalik. Beberapa detik
kemudian, lseorang aki-laki lain mendatanginya. Perempuan itu lantas
memeluknya. Pedih, dan ia ingin menangis keras. Tak peduli didengar para
pengunjung pantai. Bahkan, ia tak peduli lagi dengan laki-laki tadi yang
dianggap kakaknya.
'Bagaimana, istriku. Sudah puas main di
pantainya? Sudahlah jangan dipikirkan lagi. Mari kita pulang. SI jelita kecil
kita sudah menunggu dirumah..'
Dua orang itu lantas lenyap perlahan. Ditelan
ombak yang menutupi gerak-gerik kapal yang ditumpanginya. Menanggalkan jejak
masa lalu. Meninggalkan kenangan lelaki itu.
Lelaki yang ditinggal sendirian terpaku menatap
lautan luas. Hatinya sedih dan terenyuh. Sebutir kristl bening mengambang
disudut matanya. Ia bahagia melihat orang yang dulu dicintainya kini telah
menemukan pelabuhan hati yg sebenarnya. Sedangkan dirinya..? Ah...sekelumit
perih menyusup halus ke dada.
Lalu
ia bergumam dalam hatinya:
'Aku cukup bahagia dengan kesendirianku
bersama Allah. Aku tidak ingin mengalahkan cintaku kepadaNya. Jika Dia
mengambil cinta itu dariku, itu berarti Dia ingin aku lebih dan lebih
mencintaiNya. Allah..hanya engkau yang aku cintai, diatas segalanya..aku yakin,
satu saat Engkau akan mengirimkan untukku seorng hambaMu yg shalehah utk diri
yg dhaif ini..'
kemudian ia melangkah tegap meninggalkan
pantai itu. Pergi dengan keyakinan dan azzam yang kuat bahwa cinta kepada Allah
tidak akan menimbulkan sakit hati di batinnya meskipun orang yang ia cintai
sudah menjadi milik orang lain. Dan kini ia sudah membuktikannya sendiri, tidak
ada yang namanya patah hati jika kita menempatkan Allah ditempat yg tertinggi
di hati kita.
Barakallahufikum..jabat erat dan salam hangat
Wassalamualikum