(Jadikanlah Facebook untuk Dakwah dan
Mengenal Islam)
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Untuk
saudara2ku yg kucintai karena Allah...
Belakangan
ini di antara kita pernah mendengar mengenai fatwa haramnya Facebook. Banyak
yang bingung dalam menyikapi fatwa semacam ini. Namun, bagi orang yang diberi
anugerah ilmu oleh Allah tentu tidak akan bingung dalam menyikapi fatwa
tersebut.
Facebook yg
sedang sama2 kita gunakan teknologi ini adalah benar pembuatnya orang Yahudi
bernama Mark...( saya lupa nama lengkapnya..^.^ )
Tapi apakah
dengan menggunakan teknologi buatan orang yahudi lantas kita sebagai orang
islam diharamkan menggunakannya..?? Inilah yg akan kita bahas selanjutnya.
Ada hal yg
perlu saya sampaikan utk menjawab hal tersebut yaitu kaedah yg berlaku saat
ini. Apakah itu? ini dia..:
Dua Kaedah
yang Mesti Diperhatikan
Saudaraku,
yang semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah Allah. Dari hasil penelitian
dari Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama membuat dua kaedah ushul fiqih berikut
ini:
Hukum asal
untuk perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah disyari’atkan sampai Allah
dan Rasul-Nya mensyari’atkan.
Sebaliknya, hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.
Sebaliknya, hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.
Apa yang dimaksud dua kaedah di
atas?
Untuk kaedah
pertama, yaitu hukum asal setiap perkara ibadah adalah terlarang sampai ada
dalil yang mensyariatkannya.
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu yang diperintahkan atau
dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang memerintahkan atau
menganjurkan suatu amalan yang tidak ditunjukkan oleh Al Qur’an dan hadits,
maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam beragama (berbuat
bid’ah). Amalan yang dilakukan oleh orang semacam ini pun tertolak karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,ّ
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718).
Namun, untuk
perkara ‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan
mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya. Dalil untuk kaedah kedua ini adalah firman Allah, “Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al Baqarah: 29).
Maksudnya, adalah Allah menciptakan segala yang ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan. Itu berarti diperbolehkan selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak mendatangkan bahaya.
Allah berfirman, “Katakanlah: “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”
Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al A’raaf:
32).
Dalam ayat ini, Allah mengingkari siapa saja yang mengharamkan makanan,
minuman, pakaian, dan semacamnya.
Jadi, jika
ada yang menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa hukumnya? Maka
jawabannya adalah “tahu” itu halal dan diperbolehkan.
Jika ada yang menanyakan lagi mengenai hukum minuman “ teh manis”? Apa hukumnya? Maka jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan.
Jika ada yang menanyakan lagi mengenai hukum minuman “ teh manis”? Apa hukumnya? Maka jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan.
Begitu pula jika ada yang menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa hukumnya? Jawabannya adalah halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk
perkara non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Makan bangkai menjadi haram, karena
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula pakaian sutra bagi laki-laki
diharamkan karena ada dalil yang menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk
perkara non ibadah adalah halal dan diperbolehkan.
Oleh
karena itu, jika ada yang menanyakan pada kami bagaimana hukum Facebook? Maka
kami jawab bahwa hukum asal Facebook adalah sebagaimana handphone, email,
website, blog, radio dan alat-alat teknologi lainnya yaitu sama-sama mubah dan
diperbolehkan.
Hukum Sarana
sama dengan Hukum Tujuan
Perkara
mubah (yang dibolehkan) itu ada dua macam. Ada perkara mubah yang dibolehkan
dilihat dari dzatnya dan ada pula perkara mubah yang menjadi wasilah
(perantara) kepada sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang dilarang.
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:
“Perkara
mubah dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk dilakukan. Namun, perkara
mubah itu dapat pula mengantarkan kepada hal-hal yang baik maka dia
dikelompokkan dalam hal-hal yang diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula
mengantarkan pada hal yang jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang
dilarang.
Inilah
landasan yang harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana sama dengan
hukum tujuan (al wasa-il laha hukmul maqhosid).”
Maksud
perkataan beliau di atas adalah: Apabila perkara mubah tersebut
mengantarkan pada kebaikan, maka perkara mubah tersebut diperintahkan, baik
dengan perintah yang wajib atau pun yang sunnah. Orang yang melakukan mubah
seperti ini akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.
Misalnya :
Tidur adalah suatu hal yang mubah. Namun, jika tidur itu bisa membantu kita terjaga
dari fitnah ghibah dan perbuatan maksiat, maka tidur tersebut menjadi mustahab (dianjurkan) dan akan diberi
ganjaran jika diniatkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah. Misal,
tidurnya orang yg berpuasa. Daripada melek mata tapi untuk mengghibah dan
berbuat dosa, maka tidur lebih dianjurkan.
Begitu pula
jika perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yang dilarang, maka hukumnya
pun menjadi terlarang, baik dengan larangan haram maupun makruh.
Misalnya :
Terlarang menjual barang yang sebenarnya mubah namun nantinya akan digunakan
untuk maksiat. Seperti menjual anggur untuk dijadikan khamer.
Contoh
lainnya adalah makan dan minum dari yang thoyib dan mubah, namun secara
berlebihan sampai merusak sistem pencernaan, maka ini sebaiknya ditinggalkan
(makruh).
Bersenda
gurau atau guyon juga asalnya adalah mubah. Sebagian ulama mengatakan, “Canda
itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu
sedikit juga tidak enak.”
Jadi, jika guyon tersebut sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang.
Oleh karena
itu, jika sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana (perantara) menuju
tujuan tadi akan memiliki hukum yang sama. Perantara pada sesuatu yang
diperintahkan, maka perantara tersebut diperintahkan. Begitu pula perantara
pada sesuatu yang dilarang, maka perantara tersebut dilarang pula. Misalnya
tujuan tersebut wajib, maka sarana yang mengantarkan kepada yang wajib ini ikut
menjadi wajib.
Contohnya :
Menunaikan shalat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan berjalan ke tempat
shalat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka karena tujuan tadi wajib, maka
wasilah di sini juga ikut menjadi wajib. Ini berlaku untuk perkara sunnah dan
seterusnya.
Jadi
bagaimana kesimpulannya tentang hukum menggunakan facebook ini..??
Intinya,
Hukum Facebook adalah Tergantung Pemanfaatannya !!!
Jadi intinya,
hukum facebook adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau pemanfaatannya adalah
untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, maka facebook pun bernilai
sia-sia dan hanya membuang-buang waktu. Begitu pula jika facebook digunakan
untuk perkara yang haram, maka hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua
termasuk dalam kaedah “al wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama
dengan hukum tujuan).”
Di bawah
kaedah ini terdapat kaedah derivatif atau turunan lainnya yaitu:
- Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
- Maa laa yatimmul masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yang sunnah yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi sunnah)
- Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram)
- Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh)
Maka lihatlah
kaedah derivat yang ketiga di atas. Intinya, jika facebook digunakan untuk yang
haram dan sia-sia, maka facebook menjadi haram dan terlarang.
Kita dapat
melihat bahwa tidak sedikit di antara pengguna facebook yang melakukan hubungan
gelap di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan jenis yang diajak berhubungan
bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh, banyak terjadi perselingkuhan karena
kasus semacam ini. Dan banyak orang menggunakan teknologi utk berkhalwat dan
saran amencari pacara. Jika memang facebook banyak digunakan untuk
tujuan-tujuan semacam ini, maka sungguh kami katakan, “Hukum facebook
sebagaimana hukum pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk yang haram, maka
facebook pun menjadi haram.”
Marilah
Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah
Inilah pemanfaatan
yang paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk dakwah. Betapa banyak orang
yang senang dikirimi nasehat agama yang dibaca di inbox, note atau melalui link
mereka. Banyak yang sadar dan kembali kepada jalan kebenaran karena membaca
nasehat-nasehat tersebut.
Oleh karena
itu, jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain apalagi dalam masalah agama,
yang tentu saja dengan bekal ini akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Dari Jabir,
Nabi bersabda,“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat
bagi orang lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)
Dari Abu
Mas’ud Al Anshori, Nabi bersabda, “Barangsiapa memberi petunjuk
pada orang lain, maka dia mendapat ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang
melakukannya.” (HR. Muslim)
Rasulullah
juga bersabda, “Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui
perantaraanmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah (harta
yang paling berharga orang Arab saat itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah
saudaraku, bagaimana jika tulisan kita dalam note, status, atau link di
facebook dibaca oleh 5, 10 bahkan ratusan orang, lalu mereka amalkan, betapa
banyak pahala yang kita peroleh. Jadi, facebook jika dimanfaatkan untuk dakwah
semacam ini, sungguh sangat bermanfaat.
Allahu
musta’an.
Barakallahifikum..semoga
bermanfaat
Wassalamualaikum
Wassalamualaikum
Rujukan:
Kitab : Al Jawabul Kafi karangan: Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah.
Kitab : Al Jawabul Kafi karangan: Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar