Musik ini pengantar bacaanmu di blog RDM

‘Dijalan Dakwah Aku Menikah, atau Karena Menikah Maka Kutinggalkan Dakwah’




Bismillah


Sahabatku fillah..
Muslim mana sih yang tidak ingin mempunyai pendamping yang sholih atau sholihah?? jika memperoleh pendamping yang shaleh atau shaleha seperti sudah ada jaminan awal akan keluarga bahagia (walaupun terkadang materi kurang).
Bukankah kebahagiaan bukan ditakar dengan ukuran materi?? Karena kebahagiaan adalah bahasa batin, BUKAN bahasa lisan. Hmmm..cuocok dwech..:)

Sehingga ketika setelah menikah nanti suamimu bertanya,“Dik.. selama ini apakah engkau bahagia menikah denganku?”
Dan jika jawabanmu adalah:“InsyaAllah mas, aku bahagia sekali..”.

Naahhhh…
Kalau memang begitu,
Jika setelah menikah nanti kondisinya masih kekurangan atau pas-pasan, untuk apa engkau mengejar materi yang berlimpah ruah jika sekedar hanya untuk mengenyangkan perut, dan besokpun akan lapar lagi ?

Kalau memang begitu..
Jika setelah menikah nanti makan dengan sayur bening dan lauk tahu-tempe saja sudah bahagia, untuk apa engkau menghabiskan banyak harta untuk makan dengan menu yang lebih mahal ?

Kalau memang begitu..
Jika setelah menikah nanti hanya punya sepeda motor atau sepeda onthel saja sudah cukup dan bahagia, mengapa harus memburu mobil mewah? bahkan menghabiskan waktu kita untuk mengejar dunia. Materi hanyalah sebagai alat dan media kita buat menghadapi hidup yg kekal kelak di akherat. Tul gaaakkk…?^.^

Karena itu, jika hatimu mengharapkan memperoleh pendamping yang shaleh / shalehah maka jalan untuk mencapainya yang pertama kali adalah engkau berusaha menjadi pribadi yang shaleh atau shelehah dulu. Baru pada tahapan selanjutnya proses “pencarian” yang juga tidak melangggar syari’at.

Ketika jalan “pencarian” sudah sesuai dengan syariat, azzam kuat tertanam sejak awal dengan motivasi “Dijalan dakwah aku menikah”, maka setelah benar2 menikah suami istri akan bersama-sama menjadi teman berbagi suka-duka, mengenyam pahit getirnya dakwah dan liku kehidupan sehari-hari.

Dulu sebelum menikah, saya sering menemui beberapa ustadz atau murobi-murobiyah yang cenderung “melarang” jika ada ikhwan atau akhwat yang masih sangat belia (tamat SMA) berkeinginan menikah. Maksudnya sih baik, BUKAN bermaksud menunda kebaikan, tetapi dengan pertimbangan alasan karena “ketakutan” jika kelak jadi menikah muda lantas akan meninggalkan aktivitas dakwahnya. (padahal belum tentu yg dikhawatirkan itu terjadi).
hiks..sedih sekali waktu itu. *Karena saya adalah salah satu akhwat yg dimaksud..hihi buka kartu deh..:) *.

Dan alasan itu memang sangat masuk akal. Memang sih, banyak urusan baru yang harus di emban oleh seseorang ketika memutuskan untuk menikah. Banyak amanah baru yang harus segera diselesaikan, dan rasanya tidak baik pula ketika kita hanya menghakimi orang lain tanpa melihat realitas dia yang sesungguhnya.

Memang ketika saat sebelum menikah kita mengambil keputusan dan memposisikan diri sebagai ‘pewaris para nabi’ ( pada generasi ke sekian ) dgn mengambil jalan dakwah, maka pastilah ada konsekuensi dari posisi tersebut. Yaitu konsekuensi untuk meluangkan waktu bagi ummat.
Dan setelah menikah, kita tidak hanya menjadi milik suami atau istri seorang, tetapi menjadi milik Ummat.

Jadi jika gara-gara menikah lantas mulai meninggalkan hampir sebagian besar aktivitas dakwahnya maka marilah koreksi diri kita bersama.
Kalimat motivasi “Dijalan dakwah aku menikah” memang benar!! ketika belum menikah masih di jalan dakwah, tetapi BELUM TENTU setelah menikah engkau akan tetap istiqomah dgn semboyan “Di jalan dakwah aku menikah”. JUSTRU yang banyak terjadi adalah ‘Karena Keluarga Maka Kutinggalkann Dakwah’.
Dengan seabrek alasan seperti ‘sibuk mengurusi suami dan anak, pekerjaan rumah menumpuk, arisan ibu-ibu kompleks, de el el. Astaghfirullah..T.T

Sahabat2ku..
Mungkin satu saat engkau akan mengalami hal ini, dan banyak bukti sudah kita temui kasus yang seperti ini, dan tak menutup kemungkinan pula bagi yang belum berumah tangga, suatu saat ketika sudah berumah tangga akan terjangkiti ‘problem dilema’ ini, yaitu antara tetap istiqomah dakwah atau berhenti dakwah setelah menikah karena alasan keluarga seperti yg saya sebutkan diatas. Dan sayangnya pilihan yg kedua-lah yg banyak dipilih.

Karena itu..bagi anda para pendakwah, dai-daiyah, ustadz-ustadzah, dan para admin di fanpage dan grup2 islam di dumay..MOHON MAAF dan ijinkan jika saya lancang menyerukan kepada anda semua…:
'Saat ini anda mungkin masih membara semangat2nya dakwah, tapi setelah menikah nanti masihkah engkau akan istiqomah ‘Dijalan Dakwah Aku Menikah, Maka Setelah Menikah Akan Tetap Dakwah’ atau ‘Karena Sudah Menikah Maka Kutinggalkan Dakwah’..????
SILAHKAN RENUNGKAN DARI SEKARANG! ( gak maksa lho, hehe..)

Dan akhirnya hanya doa pada Allah saja semoga kita semua di langgengkan di jalan dakwah. BUKAN hanya sebelum menikah, tapi ketika setelah menikah dan setiap saat sampai ajal menjemput. Yaa Muqollibal Qulub Tsabbit Qolbi ‘ala diinika.

Afwan jiddan,,jika ada yg tidak berkenan dengan tulisan ini. Note ini hanya sebuah refleksi dari ‘Pengembaraan Ruhani’ saya selama beberapa hari, dan terbentuklah dalam sebuah tulisan pendek ini.

Barakallahufikum…
Semoga bermanfaat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar