Bismillahirrahmanirrahim
Hari itu awan sangat berat, pertanda sebentar lagi hujan
yang lebat akan mengguyur bumi ini. Terlihat Aya asik termenung ditepi meja
belajar kamarnya, Intan tengah menyelesaikan pekerjaan kampusnya, dan Rahmi
tenggelam dalam musiknya.
“Hei Aya, kenapa kamu selalu melihat langit dikala awan
hitam tengah menyelimuti?” Intan sedikit kelelahan dengan tugasnya.
“Aku sendiri tidak tahu In, kenapa awan hitam itu begitu menarikku? Hanya saja aku sempat mengalami beberapa kejadian disaat awan mulai hitam dan menyelimuti langit,” Aya terlihat sedikit sedih, dan mulai mengalihkan pandangannya dari langit tersebut. “hari itu, aku sedang berjalan menuju perkampungan, tiba-tiba aku melihat seorang kakek berjalan menuju mesjid, tapi alangkah sedihnya, sebelum kakek itu sampai ke mesjid Allah telah memanggilnya terlebih dahulu, beliau terserempet motor dan meninggal di tempat In.” Aya seperti mengulang kejadian itu di dalam benaknya.
“Aku sendiri tidak tahu In, kenapa awan hitam itu begitu menarikku? Hanya saja aku sempat mengalami beberapa kejadian disaat awan mulai hitam dan menyelimuti langit,” Aya terlihat sedikit sedih, dan mulai mengalihkan pandangannya dari langit tersebut. “hari itu, aku sedang berjalan menuju perkampungan, tiba-tiba aku melihat seorang kakek berjalan menuju mesjid, tapi alangkah sedihnya, sebelum kakek itu sampai ke mesjid Allah telah memanggilnya terlebih dahulu, beliau terserempet motor dan meninggal di tempat In.” Aya seperti mengulang kejadian itu di dalam benaknya.
“Innalillahiwainnailaihi roji’un. Semoga Allah menerima
amalannya selama hidup ya Ya. Lalu, apakah kamu tidak trauma dengan kejadian
tersebut. Padahal kamu melihat sendiri kejadiannya kan Ya?” kali ini Rahmi ikut
berkomentar, dia mematikan musiknya saat Aya mulai bercerita tadi.
“Awalnya iya, aku jadi takut untuk berjalan sendirian
apalagi disekitar mesjid itu. Tapi kemudian saat trauma itu sedikit mulai
menghilang, terjadi lagi kejadian yang sama tapi di jalan raya, saat aku ingin
membelikan obat untuk Shafa, adik kecilku, aku melihat seorang anak
pengamen jalanan ditabrak mobil dan meninggal saat itu juga,” Wajah Aya mulai
mendung dan bersedih, “dan kedua kejadian tersebut terjadi saat awan ini mulai
hitam menyelimuti langit, yang kemudian disusul oleh hujan.”
“Innalillah, kamu mengalami kejadian yang sangat tragis.”
Intan ikut bersimpati dengan kejadian-kejadian tersebut.
“Karna itu, setiap langit berubah jadi kelam, aku seperti
dipanggil untuk melihat nya, entah kejadian apa yang sedang terjadi diluar sana
hingga langitpun menangis olehnya.” Aya, menutup matanya seperti tidak mampu
membayangkannya.
Tidak lama kemudian mereka bertiga segera tidur, hanya Aya
yang masih terbayang akan tragedi yang membuat nya takut untuk keluar terlalu
lama.
-------------------------------------------------
Kampus tempat Aya dan teman-temannya menimba ilmu
digemparkan oleh Fahri, mahasiswa yang terkenal tidak tahu aturan dan suka
meliburkan diri dari pelajaran, saat itu mendapat nilai tertinggi se
fakultasnya. Sungguh tidak biasa.
Beberapa hari yang lalu, Fahri yang adalah seniornya Aya di
Fakultas Ekonomi itu menyatakan perasaannya pada Aya. Hanya mereka yang tahu,
bahkan Intan dan Rahmi tidak mengetahui hal ini. Karna Fahri berterus terang,
maka Aya pun terbuka saja, jelas dalam sekali ucapan Aya menyebutkan TIDAK.
Saat itu Fahri tidak bertanya apa-apa kenapa Aya menolaknya, dia hanya
tersenyum dan pergi berlalu. Dan sampai saat inipun Aya tidak pernah memikirkan
Fahri sedikitpun, apalagi dibawa pusing tentang pengakuan Fahri. Tetapi tetap
saja, Aya masih ikut heran dan penasaran kenapa dalam beberapa hari itu Fahri
telah menunjukkan prestasinya, tidak hanya kepada Aya tetapi keseluruh kampus.
SUBHANALLAH. Aya tersenyum dalam hati, dan mengucap syukur atas keberhasilannya
membuat gempar para mahasiswa.
Ketika istirahat berlangsung, Aya menemukan selembar surat
di dalam tasnya. Dia sendiri terkejut, kenapa kertas itu tiba-tiba muncul di
tasnya, sedangkan tas itu dari pagi tidak pernah dia tinggalkan, kecuali saat
dia ke WC tadi dan tas itu dipegangkan pada Intan. Apa mungkin ini
kertasnya Intan?
“Kepada Raudatul Fahra Aya. Ini pertama kalinya aku mendapat
nilai tertinggi se kampus, dan tidak aku sangka para mahasiswa lain membuat
berita ini menjadi semakin besar, aku tidaklah sepintar itu, kamu tahu jelas
kemampuanku. Ini aku persembahkan untukmu. Tidak ada maksud lain, hanya ingin
kamu menyimpan barang yang sangat berharga bagiku. Berharap kertas ini jangan
kau buang atau dikembalikan. Terimakasih” di balik tulisan itu ada nilai
bertuliskan A+, yang ternyata adalah kertas hasil ujiannya sendiri.
Lama Aya memegang dan membaca tulisan itu, kemudian dia
tersenyum, dan menyimpan kertas itu kembali ke dalam tasnya.
-----------------------
Keesokan harinya, Fahri kembali menyatakan perasaannya
kepada Aya. Namun Aya tetap berkata TIDAK dalam sekali ucap. Fahri tetap
tersenyum dan berlalu begitu saja. Dan kali ini Intan dan Rahmi melihat
kejadian tersebut dan langsung bertanya kepada Aya, kenapa Fahri pagi-pagi
sekali sudah datang dan menemui Aya. Aya hanya menjawab dengan senyuman dan
berkata “tidak ada apa-apa kalian tenang saja” dan berlalu begitu saja. Terang
saja Intan dan Rahmi masih penasaran, apalagi Intan yang kemaren menerima
permintaan Fahri untuk memasukkan sebuah kertas ke dalam tas Aya. Meski begitu
kedua sahabat Aya tidak mendesakknya untuk memberitahu mereka, jika Aya berkata
begitu berarti memang tidak ada apa-apa, mereka percaya dan mulai menenangkan diri
dari rayuan syetan, dengan dzikir.
Berbulan-bulan setelah kejadian tersebut, Fahri tetap
mendapat peringkat terbaik diangkatannya., bahkan sekarang dia menjadi Presma
(Presiden Mahasiswa). Jabatan yang diterima oleh Fahri membuatnya semakin
terkenal dikalangan kampus, dan sangat banyak akhwat-akhwat yang menanti Fahri
untuk menyatakan perasaan pada salah satu diantara mereka, namun itu hanyalah
mimpi bagi mereka, satu-satunya akhwat yang Fahri pernah menyatakan perasaannya
hanyalah Aya. Raudatul Fahra Aya.
Kembali muncul selembar kertas di dalam tas Aya. Dia
membuka dan membacanya.
“Kepada Raudatul Fahra Aya. Tidak pernah ku menyangka hal
ini akan terjadi. Cita-cita ku untuk menjadi ketua Presma akhirnya terwujudkan.
Dan ini adalah bukti bahwa semua yang pernah mereka cap padaku tidak benar, aku
bukanlah anak yang payah. Dan hari ini, kembali aku persembahkan ini padamu.
Tidak ada maksud lain, hanya ingin kamu menyimpan barang yang sangat berharga
bagiku. Berharap kertas ini jangan kau buang atau dikembalikan. Terimakasih” di
belakang tulisan itu ada pengumuman tentang diangkatnya Fahri Rahmat sebagai
ketua Presma. Tersenyum dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Seminggu kemudian, kembali Fahri menemui Aya untuk
menyatakan perasaannya. Dan tetap satu ucapan tegas Aya, TIDAK. Fahri tersenyum
dan berbalik arah meninggalkan Aya.
Dan untuk ketiga kalinya Fahri tidak mendapatkan hasil
apa-apa. Dia bingung kenapa Aya masih menolaknya padahal prestasi-prestasinya
telah jelas nampak. Apa Aya tidak menyukainya? Pertanyaan itu terbersit dibenak
Fahri.
Lebih dari satu bulan Fahri terus memikirkan kenapa Aya
tidak pernah menerimanya, apa yang salah pada dirinya? Padahal dia telah
membuktikan bahwa dia bukanlah seperti dulu yang selalu di cap sebagai seorang
anak yang payah, boros dan suka libur dari pelajaran demi bermain-main dan
hanya bisa membuang uang orang tua yang telah susah payah menyekolahkannya
hingga tingkat perguruan tinggi. Tapi sekarang dia bukanlah anak yang payah
lagi, nilainya selalu tertinggi seangkatannya bahkan anak-anak tidak
memangilnya dengan sebutan anak mami atau anak payah melainkan mereka hormat
padanya karna dia telah menjabat sebagai seorang ketua Presma. Lalu
apalagi yang diinginkan Aya? Apakah Aya menginginkan materi? Materi untuk bisa
membawanya keluar pergi berbelanja sesuai keinginannya?
-----------------------------------------------------
Dan Fahripun ikut berkerja dengan ayahnya. Walaupun gajinya
tidak seberapa, tapi dia sangat giat untuk bekerja agar bisa menyenangkan Aya
dan diterima oleh Aya. Hingga dia terpaksa sering libur dari kegiatan
kemahasiswaan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Kabar inipun
cepat menyebar hingga sampai ketelinga Aya, namun Aya tetap tidak bergeming,
dia tidak pernah memikirkan Fahri hingga memusingkan dirinya. Hingga 4 bulan
kemudian dia telah kembali eksis dengan kampus dan kegiatannya.
Dengan kembalinya keberadaan Fahri di kampus, dan muncullah
kembali selembar kertas di dalam tas Aya.
“Kepada Raudatul Fahra Aya. Selama beberapa bulan ini aku
tidak pernah eksis dalam kegiatan kemahasiswaan, aku rasa dirimu tahu. Tapi
alasannya karna aku ingin mencari materi, aku berkerja dengan ayahku dan
mendapatkan gaji yang lumayan cukup. Dan hanya ini yan bisa aku persembahkan
untukmu. Tidak ada maksud lain, hanya ingin kamu menyimpan barang yang sangat
berharga bagiku. Berharap kertas ini jangan kau buang atau dikembalikan.
Terimakasih” dibalik tulisan tersebut adalah sebuah piagam, piagam yang dipersembahkan
untuk karyawan teladan. Aya tersenyum, dan menyimpannya lagi dalam tas.
Beberapa minggu kemudian Fahri kembali menemui Aya, namun
hari itu dengan seikat mawar putih dia kembali menyatakan perasaannya kepada
Aya. Saat itu Aya sedikit lama untuk menjawab, lalu kemudian mengatakan TIDAK
untuk keempat kalinya kepada Fahri. Dan untuk pertama kalinya Fahri tidak
tersenyum namun menundukkan pandangannya sambil menitikkan sedikit air mata dan
kemudian membawa pulang mawar putih dengan beribu kesedihan.
Aya tidak pernah mengatakan apa alasannya menolak Fahri,
bahkan setelah keempat kalinya. Fahri kebingungan, dia sangat menyayangi Aya
dan tidak ingin Aya direbut oleh ikhwan lain. Fahri sangat-sangat kebingungan,
hingga setiap hari dia tidak pernah lagi ikut kerja dengan ayahnya, dan
kegiataan kemahasiswaannya pun terbengkalai, bahkan nilainya juga banyak yang
anjlok, meski tidak separah dulu. Hidup Fahri serasa tidak ada semangat lagi,
dia sungguh tidak mengerti, dan diapun tidak ingin menanyakan hal ini pada Aya,
takut membuat Aya tambah membencinya.
Hingga satu kali, dia berpikir untuk tidak ingin
terus-terusan bersedih di dalam kebingungannya, dan Fahripun mencari tahu apa
alasan Aya tidak pernah mau menerimanya.
Sekarang setiap hari dia selalu mengikuti Aya, dia mencari
tahu apa saja kegiatan Aya, apa saja yang membuat Aya semakin menutup dirinya
dikalangan para ikhwan, bahkan Fahri sempat bertanya kepada Intan, sahabat Aya,
dan baru dia ketahui bahwa Aya pernah mengalami kejadian yang sangat membuatnya
trauma. Kemudian Fahri mencari kegiatan apa saja yang diikuti oleh Aya, dan
sungguh terkejut Fahri, ternyata di kampus Aya mengikuti kegiatan rohis, dan
sepulang kuliah dia mengajar di TPA dekat tempat kostnya. Bacaan ayat Al-Quran
Aya ternyata sangat menyentuh Fahri, dan juga keakraban Aya dengan para
santrinya membuat Fahri semakin mengagumi Aya, dan menginginkan Aya menjadi ibu
dari anak-anaknya nanti.
Kembalilah Fahri ke rumahnya dan berrmenunglah ia, menangisi
semua dosa-dosanya selama ini kepada Allah, dia tidak pernah melaksanakan
kawajiban shalatnya, ia tidak pernah berzakat dan berpuasa dengan sempurna,
sungguh sangat hinanya dirinya. Dia lebih suka tidur daripada mengerjakan
shalat, meski ayah dan ibunya telah berulang kali untuk mengingatkannya. Fahri
menangis dan bersujud kepada Allah dalam shalat malamnya, ia menangis dan
berdoa memohon ampunan Sang Penguasa Hati. Hingga malam itu penuh dengan doa
dan tangisan Fahri Rahmat.
--------------------------------
1bulan lagi adalah acara wisuda, angakatan ’02, angkatan
Fahri. Sejak pernyataan terakhir Fahri kepada Aya, dia tidak peernah tampak
lagi disekitar Aya, dia kembali sibuk dengan segala kegiatan yang pernah
ditinggalkannya, hingga sampai 1bulan lagi acara wisuda. Dia melepaskan
tanggung jawabnya dan diserahkan kepada junior yang lebih pantas. Dan memulai
untuk serius menyusun Tugas Akhirnya.
Setelah lulus dari Universitas yang telah mengajarkannya
tanggung jawab selama kurang lebih 3,5 tahun, ia tidak pernah tampak lagi di
sekitar kampus. Entah kenapa Aya mulai memikirkan Fahri, setelah kurang lebih
1tahun, ia tidak pernah melihat Fahri yang selalu mencoba untuk merebut hatinya
dengan berbagai lembar kertas pembuktian. Tiba-tiba hati Aya terasa kosong, dan
mulai merasakan sedih.
“Lho, kenapa aku sedih? Harusnya aku senang karna dia tidak
lagi menggangu ku dengan berbagai kertas-kertasnya.” Aya mencoba menenangkan
dirinya.
Seminggu kemudian, kost-kostan Aya kedatangan pak pos.
Biasanya yang suka dikirimi paket adalah Rahmi, Ayapun memanggil Rahmi untuk
menerima paketnya, namun ketika dibukakan pintu nama yang ditanyakan oleh pak
pos adalah Raudatul Fahra Aya. Kontan Aya kaget, kenapa ada kiriman untuknya?
Pak pospun menyerahkan selembar amplop untuk Aya, dan meminta Aya untuk
menandatangi buktinya.
Di kamar Aya mencari tahu siapa pengirimnya, FAHRI RAHMAT.
DEG, “astagfirullah, ada apa dengan ku? Kenapa tiba-tiba saja terasa ada yang
berdesir yang sangat menyakitkan? Ya Allah, jauhkan aku dari segala yang batil
ya Rabb. Amin ya Rabb.” Dengan perlahan Aya membuka surat dari Fahri, dan
membacanya dengan pelan.
Assalamualaikum ukhti Aya.
Afwan, jika tiba-tiba aku menulis surat ini pada ukhti. Aku
tidak ada maksud lain, aku hanya takut jika seandainya ukhti menunggu tulisan
dariku, tapi tidak pernah datang.
Aku sekarang telah menjadi karyawan tetap di perusahaan
ayahku, dan mencoba untuk meneruskan perkerjaan ayah, agar beliau bisa istirahat
dan tidak perlu lagi bersusah payah mencari nafkah untuk kami sekeluarga, aku
tidak ingin membebani ayah lagi. Ibuku sudah lebih dulu dipanggil oleh Allah
SWT, karna itu sejak ibu meninggal aku harus mengurus adik-adikku sendirian.
Selama ini aku banyak belajar ilmu agama, aku sadari bahwa diri ini sangat
lemah akan pengetahuan islam, karna itu sebelum lulus aku sedikit banyak telah
belajar dari ustadz yg tinggal dekat rumah ku. Dan alhamdulillah semua
kebiasaan buruk telah ku buang, sekarang di hati ini hanya ada Allah,
kekasihNYA, keluargaku, juga RAUDATUL FAHRA AYA Dan kata ayah akupun sudah
cukup umur untuk mengikuti sunnah nabi junjungan kita, Muhammad SAW. Secara
materi, insya Allah aku telah siap, juga secara batinniyah.
Dengan menyebut nama Allah, Bismillahirrahmaanirahiim..aku
ingin mengkhitbahmu ukhti, jika ukhti izinkan aku akan segera melamarmu pada
orang tuamu.
Sekian surat ini aku tuliskan, semoga ukhti memikirkannya
terlebih dahulu, insya Allah 2hari lagi aku akan menemui ukhti. Ukhti Raudatul
Fahra Aya, semoga Allah menyatukan kita. Amin.
Wassalamualaikum.
Fahri Rahmat.
Hanya tetesan air mata yang mewakili Aya unutk menjawab
semua pertanyaan yang menganjal di hatinya. Kembali ia buka laci tempat
penyimpanan kertas-kertas yang diberikan Fahri padanya dulu.
Dan sesuai janjinya, Fahri pun menemui Aya meminta jawaban
atas pinangannya. “Aku masih memiliki ayah dan Ibu, aku tidak berhak langsung
menjawabnya. Antum tanyakan saja terlebih dahulu kepada orang tuaku, apapun
keputusan mereka, itulah keputusanku, dan berharap antum bisa menerima apa
adanya”.
“Insya Allah” hanya singkat ucapan Fahri, namun menambah
keyakinan dalam hati Aya.
Selama 3hari berturut-turut Fahri mendatangi rumah Aya
sesuai permintaan ayahanda Aya, dan dia mampu untuk melalui ujian dan cobaan
dari ayahanda Aya, hingga beliau dan istrinya menerima Fahri sebagai menantu
dirumah itu. Alhamdulillah.
Proses akad nikah dan walimah, tidak perlu terlalu lama.
Semuanya terselesaikan dengan sempurna.
“Bunda, Fahri adalah ikhwan yang sering Aya ceritakan, dan
alhamdulillah dia kembali ke jalan Allah dengan penuh perjuangan. Aya
mencintainya bunda.” Dengan berlinangan air mata Aya memeluk ibunya setelah
akad nikah yang sempurna itu terjadi. Dan walimahnya segera dilaksanakan
dengan sederhana.
Hingga akhirnya mereka memasuki malam peraduan Adam dan
Hawa.
“Alhamdulillah, aku sangat bersyukur bisa menikahi wanita
shalihah sepertimu istriku. Allah telah menunjukkan jalanNya. Dirimu yang
selama ini aku kagumi dan aku sayangi, sekarang telah sah menjadi istriku
dimata hukum dan agama. Semoga kita bisa menjadi keluarga sakinah, mawaddah
warahmah ya Istriku” dengan senyum bahagia Fahri memeluk istrinya tercinta.
“Abi, aku ingin memberikanmu sesuatu.” Sambil berjalan
mengambil sebungkus kado yang berbungkus rapi.
“Apa ini Aya?” Fahri bingung dengan kado yang diberikan Aya
padanya.
“Bukalah abi.” Dengan penuh senyum Aya memberikan Fahri kado
tersebut.
Dan ternyata isinya adalah, sebuah kertas yang dibingkai
kecil, ada empat bingkai kertas. Fahri memeriksanya dengan seksama, dan
ternyata kertas itu adalah kertas-kertas yang pernah diberikannya dulu kepada
Aya.
“Abi memintaku untuk menyimpan barang yang sangat berharga
bagimu, dan aku telah menyimpannya untukmu.” Senyum tulus Aya membucahkan
airmata Fahri dan memeluknya dengan penuh rasa cinta dan kagum.
“Istriku, istriku, istriku...." gumam fahri sambil memeluk istrinya dengan erat.
TAMAT
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar