Bismillaahirrahmaanirrahim
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Aku
menatap diriku sendiri ke cermin besar di depanku diruang tamu. Ada bayanagn
seorang wanita muda disana. Baru 19 tahun. Tapi raut wajah dan penampilannya
seperti lebih dewasa dari umurnya. Yaa..wanita muda, bukan anak perempuan
seorang kontraktor besar dan terkaya di kompleks perumahan elit ini.
Rambutnya
lurus panjang melewati bahu. Sebuah jilbab lebar terululur dipundaknya. Kutatap
wajahnya – yang kata orang – cukup cantik. Ah bukan cantik, tapi manis dan ayu.
Alisnya tebal, bibirnya tipis dan merah muda, lesung pipit menghias pipinya
kiri kanan. Aku mencari kekurangan yg ada disana. Tentu saja ada. Beberapa
komedo kecil bertahta di hidungnya. Satu jerawat melekat di samping hidung.
Sepasang mata yg redup dan cekung.
Diakah
Daiyah…?? Itulah diriku !
Tiba-tiba
telepon rumah berdering, membuyarkan lamunanku berdiri di depan cermin.kisambar
gagang telepon dengan sedikit malas. Suara yg gagah terdengar di ujung telepon.
Kak hidayat rupanya..satu-satunya kakakku.
“
kok suara kamu lemes gitu, Dey..? Kamu sakit..?” tanyanya dari ujung telepon.
(
suara kayak kokok ayam jago yg dipotong ya..hehe )
“
Gak kok kak..” sahutku singkat. “ada apa nelpon..?”.
“
Nyriin kamu. Mau nanya hasil detektifmu hari ini..”.
“
Hasil dari mbak widya..?” tanyaku.
“
Na’am..”. Kakakku mengiyakan dalam bahasa arab.
“
Kak hidayat boleh maju..”.
“
Boleh maju..?” volume suaranya naik.
“
Kakak silahkan datang untuk taaruf..” jawabku tegas. “ dia lajang, jomblo,
berakhlak mulia, pengetahuan ilmu agamanya mengagumkan, tilawahnya melebihi
qoriah terbaik di kota ini, tidak ikut aliran manapun, gemar bersedekah, gay
ahidup sederhana, hobi berkebun, pandai menjahit, dewasa dan keibuan. Lembut
tetapi tegas, secara fisik penampilannya standar, kulitnya tidak putih tapi
kuning langsat dan bersih, umurnya satu tahun lebih muda dari kakak..”
Aku
menyebutkan satu persatu dengan detail karakteristik yg selama ini kuamati.
Memang selama tiga hari ini aku mendapat tugas misi dari kak hidayat untuk
mengamati akhwat ini. Namanya mbak widya. Aku menjadi detektif bagi kakakku
untuk mencari calon pendamping yg terbaik untuk dirinya. Akupun dengan senang
hati melakukannya. Dan ‘pekerjaan baruku’ menjadi detektif itu membuahkan hasil
yg memuaskan.
“
Dan..tentang cara bersedekahnya itu..,” aku melanjutkan “ tiga hari Dey
bersamanya, dey memang melihat dia sangat tulus membantu, tanpa pikir panjang
akan dirinya sendiri yg kekurangan. Kakak benar, menurut dey, dia itu ‘Aisyah
banget’. insyaAllah..”.
Diseberang
sana kang hodayat pasti tersenyum. Akupun menceritakan tentang prinsip dia
bersedekah yg sangat mengagumkan.
“
Bagaimana keluarganya..?” kak hidayat memotong suaraku. Dia rupanya sudah tidak
sabar dengan keteranganku.
Aku
menghela napas sebentar.
“
Mbak widya yatim piatu. Disini ia tidak punya kerabat kecuali paman dan bibinya
yg di kampung. Dia tinggal bersama adik lelakinya yang masih SD dirumahnya yg
sangat sederhana. Kenapa sih kakak harus nanya lewat telpon gini? Kakak kan
bisa pulang..?”.
Kak
hidayat tidak menjawab. Aku tahu, dia pasti tidak mau aku melihat ekspresi
mukanya saat aku menceritakan semua ini tentang calonnya.
“
Apalagi yaa..ohya kegiatan sehari-harinya bagaimana..?”
“
Dia…dia tidak kuliah” kugigit bibirku. Ini bagian yg sulit kujelaskan.
Diseberang
suara dari ujung telepon tak terdengar. Mungkin kakak sedang mengeja
kata-kataku. Setengah menit lewat. Diseberang masih diam. Apa kakakku kecewa..?
“
Kaakkk..” aku memanggilnya.
“
Yaa dey..” suara diseberang terdengar kaget.
“
Kakak dengar apa yg dey katakan tadi?”
“
Yaa..kakak dengar”.
“
Mmm…lalu bagaimana?”
“
Bagaimana apanya..?”
“
Yaa..kaka tetep suka? Mmmm..maksud dey, apa kakak keberatan dengan…..” aku tak
melanjutkan kata2ku.
“
InsyaAllah kakak tidak keberatan. Tidak setiap hal baik diukur dari prestasinya
untuk dunia, bukan??” suara kakak hidayat menjawab.
Dari
jawaban kakakku aku jadi teringat kata2 mbak widya: ‘Mbak yakin kita tidak
dinilai oleh Allah semata-mata berdasarkan prestasi kita untuk dunia. Tapi DIA
menilai prestasi yang kita kumpulkan demi mencari ridho Allah dan kebaikan kita
di akherat nanti’.
Untuk
hal ini, kalian satu ide dan pemikiran, Kak. Tapi benarkah…..? pertanyaanku
menggantung dalam hatiku saja.
Lalu
aku menambahkan:
“
Kakak tidak keberatan walaupun ada kesenjangan antara kakak dan dia..?”.
“
Kesenjangan apa dey..?” tanya kakakku diujung telpon.
“
Kakak tahu? Mbak widya tidak menamatkan SMA-nya..karena kondisi finansial…”.
Diseberang
sana diam lagi. Hatiku kebat kebit.
“
Kaakkkk..melamun terus sih..?”
“
Yaa..menurut kamu gimana dey?”
“
Menurut dey sih..terserah kakak saja”.
“
Emmm…dia benar-benar akhwat yg baik dan pantas kan buat kakak?”
“
Sangat..” jawabku mantap.
“
Dey…”
“
Ya kak..?”
“
Besok kakak akan mengajukan taaruf dengannya. Kau harus ikut menemani kakak.
Sudah dulu yaa..assalamualaikum” gagang telepon terdengar ditutup.
Allahu
akbar..!!
Aku
masih diam terpaku. Salamnya bahkan lupa kujawab dan hanya kujawab dalam hati
setelah kesadaranku pulih mendengar kata-kata kak hidayat barusan.
Anganku
sejenak berpikir..
Zaman
sekarang…orang memilih pasangan nyaris mutlak semuanya dengan pertimbangan
level dan status social di masyarakat. Polisi mencari dokter, sarjana mencari
sarjana, eksekutif mencari manager perusahaan, malah di kalangan ikhwah juga
ada yg demikian: ustadz mematok ustadzah, haji lebih memilih hajjah, aktivis
dakwah juga mencari sesama aktivis.
Tapi
kakakku ini…..? dia tidak terpengaruh dengan level kak widya yang ‘tidak tamat
SMA’ itu. Kak hidayat bahwan melupakan status sosialnya sebagai wakil presiden
mahasiswa, nasyider kenamaan di kampus, wirausahawan yg sukses, mahasiswa
teknik tingkat akhir dgn IPK terbaik…..
Ikhwan
jempolan ! Aku bangga padamu kakakku.
-----*****00000*****-----
Malam
harinya kubuka Diaryku. Aku tumpahkan sesuatu disana.
Apa
kabar diaryku…??
Aku
menulis di buku diaryku di ujung malam setelah tahajud.
Akhirnya
aku menemukanmu lagi bersama tinta yg bening di lautan hikmah, berbaris
kata-kata terukir basmalah, hamdalah dan tasbih setia mengiringiku. Aku yg
lelah, telah memintamu duduk, menatapku da mendengarkanku.
Engkau
yang indah, yg berdada lapang dan berlembar-lembar wajah berwarnamu yg
memancing rinduku. Setelah menghampiri dirinya, kini aku berlari menujuMU.
Terimaaksih
telah menerimaku meski di pagi yg menggigil, siang yang terik, senja temaram,
dan malam yg suram atau di fajar kelam.
Selamat
Dey.. ! aku harus berucap begitu kan, Diary..? seperti selamat yang kukirimkan
pada kak hidayat, deswita dengan senyumnya, Rendi sang ketua rohis bersama
doa2ku, dan sahabatku Bella yang sebentar lagi akan menikah, juga kepada mas
Jo……
Ah,
mas Jo. Mengingatmu adalah satu kenangan yg entah manis atau pahit. Kau
menawarkan satu cinta yg lain, yg tidak biasa, yg pernah menggeser ceriaku pada
luka. Aku tak ingin mengulangi lagi kisah cintaku itu saat aku masih jahiliyah
dan belum berhijrah. Aku tak ingin menerima itu kembali sebelum Allah benar2
mengijinkanku. Namun kebaikan saudara adalah karunia Tuhan. Dan aku akan
berterimakasih secara sederhana untuk itu, kepadamu…!
Diaryku
yang setia, aku harus bercerita tentang apa kepada kak hidayat? Tentang senyum
gugup yg merumuskan bahagia atas keberhasilannya meminang Mbak Widya, atau
tentang sukacitanya meminang sebuah cinta yg teramat molek ? Suatu keindahan yg kutemukan dalam satu
kharisma kesederhanaan seorang wanita sholehah seperti mbak widya: kepada
lembut bicaranya, pada khidmad nasehatnya, pada mata bermaknanya, pada suara
tilawahnya yg mampu membuatku takjub dan menangis, pada keajaiban hatinya.
Sungguh ia manusia yg jauh dari sempurna. Namun adakah yg peduli bahwa dia
sebenarnya adalah Mutiara..?
Mbak
Widya, Selamat !
Percayalah,
kakakku adalah Tiram yang jernih untuk engkau Sang Mutiara.
Barakallahufikum..semoga
bermanfaat
Banyak
sayang dan cinta,
wassalamualaikum
----------------------
-
(Sumber:
Diedit dari sub bab Novel 'Birunya Langit Cinta', Azzura Dayana.
hmmm..inilah
sebuah novel islami yg senikmat susu coklat. Saya merekomendasikan anda utk
membacanya..dijamin tidak kecewa membacanya..hehe promosi :p )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar