Bismillaah..
Satu hal yg paling sering ditanyakan kepada saya di inbox
salah satunya adalah masalah hukum boleh tidaknya seorang wanita yg sedang haid
memegang alquran.
Karena seringnya pertanyaan ini hadir ke inbox, maka setelah mempelajari lebih seksama, mencari referensi2 hadist yg relevan, dan bertanya kesana kemari kepada guru saya dan orang2 yg lebih berilmu, lalu mengumpulkan hasil ‘interview’ tersebut, maka kali ini saya memberanikan diri untuk mengulas hal ini lebih dalam.
Silahkan bila nanti ada kesalahan dalam tulisan dan
penjelasan yg saya jabarkan ini, MOHON diluruskan dan jangan segan2 untuk
mengoreksi.
Sahabatku..
Dalam kaitan hukum wanita haid memegang alquran, hal ini termasuk hal-hal yang beragam dalam masyarakat kita. Ada pendapat yg mengatakan sama sekali tidak boleh, walau apapun yg berasal dari alqur'an,meski cuma petikannya saja (misalkan di sebuah kertas bulletin islam yg ada tulisan ayat2 alquran).
Dalam kaitan hukum wanita haid memegang alquran, hal ini termasuk hal-hal yang beragam dalam masyarakat kita. Ada pendapat yg mengatakan sama sekali tidak boleh, walau apapun yg berasal dari alqur'an,meski cuma petikannya saja (misalkan di sebuah kertas bulletin islam yg ada tulisan ayat2 alquran).
Bagaimana dengan mata uang Arab atau brosur atau hal-hal
apa saja yang ada petikan kata-kata dari Qur'an? Mereka berbeda lagi dalam
menjawabnya. Ada yang mengatakan BOLEH asalkan terjemahannya saja, tapi kalau
Qur'an yang ada tulisan Arabnya maka TIDAK BOLEH.
Lalu apa bedanya
yang terjemahan dan yang tulisan arab saja? Jika memang benar ayat Al-Qur'an
tidak boleh dipegang oleh orang haid bagaimana dengan brosur dan pamflet yang
diedarkan dibagikan untuk orang kafir di luar negeri? Rasulullah sendiri pernah
menulis surat kepada Raja-Raja kafir seperti Heraklius dengan diawali kalimat
Bismillaahirrahmanirrahiim. Kalimat bismillah ini jelas merupakan bagian ayat
Al-Qur'an. Bagaimana Rasulullah menjamin surat tsb tidak dipegang oleh orang
yang haid atau berhadats besar ketika surat tsb samapi kepada yg dimaksud?
Sebenarnya perbedaan ini bermula dari ayat berikut: “Sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu
ialah Al-Quran yang mulia yang
tersimpan dalam kitaabum
maknun, Yang
tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang disucikan (muthoharuun) ; Al-Quran itu diturunkan
dari Allah Tuhan sekalian alam” (Q.S.
Al Waqi’ah: 79) .
Namun orang berbeda-beda dalam mengartikan makna kata dalam ayat tersebut yaitu mengenai kata yamassuhu,
(memegang) dan kata muthaharuun
(makhluk yang disucikan).
Orang berbeda pendapat apakah
kata
yamassuhu, (memegang) di situ memiliki makna harfiah atau majazi
(kiasan). Kalau secara harfiah maka
berarti menyentuh atau memegang dengan
tangan secara fisik, Sedangkan jika maknanya majazi (kiasan), bermakna memahami dengan baik maksud
dari Al-Qur’an tsb, atau memperoleh berkahnya, atau merasakan kelezatannya.
Demikian pula pada istilah
“Muthoharun” (hamba yang disucikan) ada yang mengartikan hamba yang suci disini
adalah manusia. Jika itu adalah manusia maka artinya suci
dari najis dan hadats besar.
Namun ada pula yang berpendapat ayat tersebut bukan
berbicara mengenai Al-Qur’an ketika sudah diturunkan ke bumi, melainkan situasi
Al-Qur’an ketika berada di Lauh Mahfudz (tempat yang terjaga) di langit ke
tujuh.
Berkata
Ibnu Abbas radhiallahu 'anh, ayat “fii Kitabim-maknun” berarti di langit, yakni
di al-Lauh al-Mahfuz sedangkan al-Mutatahharun adalah para malaikat yang suci” Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan
tabi‘in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Kitab Jamii al-Bayan riwayat no: 25955 –
25970. Juga penjelasan al-Mawardi dalam Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut), Jilid V/
463-464
Maka yang dimaksud hamba Allah
yang disucikan itu adalah malaikat.
Ada juga yang
berpendapat istilah “Muthoharuun” itu bukan membersihkan diri dari najis dan
hadats namun membersihkan diri dari dosa dan bertaubat.
Sebagai contoh ayat
berikut :
Janganlah kamu bersembahyang dalam
mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar
taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di
dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri (Yatathoharuun).
Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih (muthohiriin). (Q.S. 9:108)
Maka di dalam masjid ada
orang yang membersihkan diri dan perkataan Allah menyukai orang yang bersih
bukanlah dimaksudkan bersih sudah mandi dan wudlu melainkan Allah menyukai
orang yang selalu membersihkan diri dari dosa dengan cara bertaubat.
Disamping maknanya
membersihkan diri adalah membersihkan diri dari dosa dan bertaubat, juga jika
yang dimaksudkan disucikan di sini adalah manusia, maka Allah menggunakan
istilah “muthohiriin atau mutathohiriin”
Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang
yang banyak bertaubat, dan mengasihi orang-orang yang sentiasa
membersihkan diri (mutahohiriin) (Q.S. 2:222)
Demikian
pula jika yang dimaksud membersihkan diri adalah manusia yang mencuci dari
hadats dengan cara berwudlu atau tayamum maka Allah menggunakan istilah thohir “Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu (liyuthohirakum) dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Q.S. 5:6)
Namun bagi
yang berpendapat melarang wanita haid memegang Qur’an diperkuat dengan dalil hadist
ini : “Orang junub dan wanita haid tidak boleh
membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al
Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu
‘Umar) Namun hadits ini adalah hadits
dha’if (lemah) , didha‘ifkan
oleh al-Bukhari dam Baihaqi. Hadits dha’if hanya bisa digunakan untuk fahilah amal dan tarhib
atau hanya sbagai motivai diri, tetapi tidak bisa digunakan sebagai dalil dalam
masalah halal haram.
Oleh karena itu Imam
Abu Hanifah (Mazhab Hanafi),Imam
Maliki (mazhab Maliki), Dawud
bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Ibnu Mundziri MEMBOLEHKAN seorang Muslim
yang tidak berwudhu untuk memegang al-Qur'an.
“Suatu ketika Umar bin Khatthab berada di antara
orang-orang yang sedang membaca Al Qur’an. Lalu ia pergi untuk buang hajat,
setelah selesai ia kembali dan langsung membaca Qur’an. Lantas ada seorang
laki-laki yang bertanya padanya; “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau membaca
Qur’an tanpa berwudlu terlebih dahulu?” Umar menjawab, “Siapa yang memberi
fatwa semacam ini! apakah Musailamah?” (H.R. Malik dalam Kita Al-Muwatho No. 420). Catatan : Musailamah
Al-Kadzab adalah tokoh pembohong yang mengaku Nabi dan dibunuh pada jaman
Rasulullah.
Namun ada yang
mengatakan Sanad hadits ini terputus, karena Muhammad bin Sirin
tidak pernah bertemu dengan Umar bin Al-Khaththab.
Yang membolehkan wanita
menyentuh Al-Qur’an berdasarkan hadits Aisyah
pernah berkata : “Saya
sedang haid wahai Rasulullah” maka
Rasulullah bersabda : “Sesunggunya haidmu bukan di tanganmu” (H.R.
Bukhari).
Namun ada juga
hadits-hadits lain yang melarang wanita haid menyentuh Al-Qur’an.
Jabir berkata, “Wanita haid dan nifas serta orang
junub tidak boleh membaca Alquran.”(H.R.
Tirmidzi)
“Tidak
boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (H.R. Daruqutni)
Namun di sisi lain para
ulama mengambil keumuman hadits ini :
“Dari Abu Hurairah :
“Maha Suci Allah, sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” (H.R. Bukhari
Muslim) (Juga diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari jalan
hudzaifah).
Yang jelas dan
pasti adalah wanita
haid DILARANG melaksanakan shalat,
berpuasa, dan tawaf di Ka’bah namun dibolehkan tetap melaksanakan ritual haji kecuali Thawaf
di Ka'bah, dibolehkan membaca
kalimat talbiyah di Muzdalifah, Mina, dan tempat-tempat haji lainnya dalam kondisi haid.
Nabi saw bersabda kepada
Aisyah ( yang mendapatkan haid
ketika dalam keadaan ihram untuk umroh), “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan jama’ah haji, akan tetapi
jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”, Kata Aisyah,
“Setelah masuk hari raya kurban barulah aku suci.” (H.R. Muslim).
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata : “Sesungguhnya para wanita
mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah, maka seandainya membaca al-Qur’an
diharamkan ke atas mereka (ketika haid) sebagaimana sholat, pasti Rasulullah akan
menjelaskannya kepada umatnya dengan
jelas. Beliau akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri
baginda) dan akan diriwayatkan dari istri Nabi dan orang banyak.
Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada
Nabi. Oleh karenanya hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah
diketahui bahwa beliau tidak
melarangnya”. (Majmu Fatawa Jilid
XXVI)
Sedangkan dikatakan
bahwa Imam
Syafi’i (mazhab syafi’i) dan Mazhab Hambali melarang wanita menyentuh Al-Qur’an
sebagaimana banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia.
KESIMPULANNYA:
Berdasarkan hadist2 dan hujjah diatas maka bisa kita ambil Kesimpulannya bahwa… karena hal ini termasuk khilafiyah (perbedaan pendapat) maka silakan memilih yang berkenan di hati masing-masing. Pilihlah sesuai dengan keyakinan anda dan apa yg anda pahami. Terserah anda mau mengambil dari mazhab yg mana.
Ada
yang berpendapat bahwa bila kita mengambil kemudahan urusan dalam masalah agama
maka khawatir akan jatuh pada kesesatan. Hal ini tidak benar karena Allah sendiri sebenarnya tidak berkehendak
menjadikan urusan dalam agama ini menyulitkan. “Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj : 78)
Dari
Anas bin Malik Rasulullah bersabda : “Mudahkanlah dan jangan kamu menyulitkan,
berilah khabar gembira dan janganlah kamu membuat orang lari” (H.R. Al-Bukhari
no. 69 dan Muslim no. 1734)
Rasulullah
ketika memilih di antara dua pilihan “Dari Aisyah, Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau
memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa” (H.R. Bukhari).
Nah..bagaimana sudah paham kan
hukumnya..? ^.^
Wallahualambishowab
Semoga bermanfaat saudaraku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar