Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum
Assalamualaikum
Gitu ya gitu tapi gak gitu-gitu amat. Ada yang
berpendapat bahwa perbedaan pendapat dalam hal fiqih di kalangan umat Islam
disebabkan oleh munculnya ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih. Padahal dulu ilmu
kalam dan ilmu fiqih ini tidak ada di jaman Rasulullah SAW. Mereka menganggap
bahwa adanya ilmu ushul fiqih ini justru membuat timbulnya perbedaan pendapat.
Mereka juga bersikeras / ngotot bahwa semestinya semua perbedaan pendapat itu bisa disatukan dalam satu pendapat saja, caranya yaitu dengan kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasul. Hal ini sesuai dengan dalil ayat :
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasulnya (Hadits).” (An-Nisaa’: 59)
Bahkan ada yang saking berlebihannya menyatakan membenci ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih karena dianggap hanya membuat perpecahan saja di tubuh umat Islam.
Kita sepakat dan seiring sejalan dalam semangat menuju persatuan umat, dan kita juga sama geregetannya melihat perpecahan umat ini sehingga membuat kondisi umat terpecah belah dan lemah. Namun rasa geregetan ini jangan lantas berubah menjadi emosi yang menyebabkan kita kehilangan proporsionalitas dan keseimbangan dalam melihat duduk masalah sebenarnya.
Perlu dipahami bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) berbeda dengan perpecahan (iftiraq). Perpecahan adalah sesuatu yang tercela dalam Islam dan diperintahkan untuk bersatu.Maka lawan kata dari perpecahan adalah persatuan. Sedangkan perbedaan pendapat lawan nya adalah persamaan pendapat. Yang dibenci oleh Islam adalah perpecahan bukan perbedaan pendapat. Jika perbedaan pendapat itu bisa membawa kepada perpecahan itu betul adanya namun ya janganlah begitu dan bersikap dewasalah. Perbedaan pendapat jangan meluncur menjadi perpecahan umat.
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. (QS. al-Anfal: 46).
Kita sama-sama sepakat dengan Q.S. An Nisaa : 59 agar kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Mereka juga bersikeras / ngotot bahwa semestinya semua perbedaan pendapat itu bisa disatukan dalam satu pendapat saja, caranya yaitu dengan kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasul. Hal ini sesuai dengan dalil ayat :
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasulnya (Hadits).” (An-Nisaa’: 59)
Bahkan ada yang saking berlebihannya menyatakan membenci ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih karena dianggap hanya membuat perpecahan saja di tubuh umat Islam.
Kita sepakat dan seiring sejalan dalam semangat menuju persatuan umat, dan kita juga sama geregetannya melihat perpecahan umat ini sehingga membuat kondisi umat terpecah belah dan lemah. Namun rasa geregetan ini jangan lantas berubah menjadi emosi yang menyebabkan kita kehilangan proporsionalitas dan keseimbangan dalam melihat duduk masalah sebenarnya.
Perlu dipahami bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) berbeda dengan perpecahan (iftiraq). Perpecahan adalah sesuatu yang tercela dalam Islam dan diperintahkan untuk bersatu.Maka lawan kata dari perpecahan adalah persatuan. Sedangkan perbedaan pendapat lawan nya adalah persamaan pendapat. Yang dibenci oleh Islam adalah perpecahan bukan perbedaan pendapat. Jika perbedaan pendapat itu bisa membawa kepada perpecahan itu betul adanya namun ya janganlah begitu dan bersikap dewasalah. Perbedaan pendapat jangan meluncur menjadi perpecahan umat.
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. (QS. al-Anfal: 46).
Kita sama-sama sepakat dengan Q.S. An Nisaa : 59 agar kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Pertanyaannya : emangnya umat Islam yang berbeda
pendapat itu tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah? Semuanya berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada yang memiliki pendapat berdasarkan logika saja
tanpa landasan Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu gampang saja tertolak. Namun jika
perbedaan itu timbul dari penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah, maka sulit
disalahkan karena semua pihak telah merasa mengikuti Q.S. An Nisaa : 59.
Saat Nabi masih hidup, penerapan Q.S. An Nisaa : 59 lebih mudah . Sebab setiap kali muncul perbedaan pendapat perihal, para sahabat bisa langsung datang dan bertanya kepada Nabi. Itulah sebabnya Qur’an mengatakan, “fa in tanaza’tum fi syai’in farudduhu ilallahi wa rasulih,” jika kalian berselisih pendapat, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Saat Nabi masih hidup, penerapan Q.S. An Nisaa : 59 lebih mudah . Sebab setiap kali muncul perbedaan pendapat perihal, para sahabat bisa langsung datang dan bertanya kepada Nabi. Itulah sebabnya Qur’an mengatakan, “fa in tanaza’tum fi syai’in farudduhu ilallahi wa rasulih,” jika kalian berselisih pendapat, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Namun saat Nabi telah wafat, tempat orang-orang
Islam bertanya itu sudah tak ada lagi kecuali deretan teks yang Qur’an dan
Hadis yang masing-masing orang punya otaknya sendiri-sendiri untuk memahaminya.
Bahkan ketika Nabi SAW masih hidup pun perbedaan pendapat di antara sahabat sudah terjadi. Sebagai contoh setelah usai perang Ahzab (Khandaq), malaikat Jibril mengilhamkan agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka telah membatalkan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Maka Nabi SAW memerintahkan para shahabatnya, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat ‘Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah”.
Bahkan ketika Nabi SAW masih hidup pun perbedaan pendapat di antara sahabat sudah terjadi. Sebagai contoh setelah usai perang Ahzab (Khandaq), malaikat Jibril mengilhamkan agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka telah membatalkan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Maka Nabi SAW memerintahkan para shahabatnya, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat ‘Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah”.
Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan
Bani Quraizhah. Dalam perjalanan, waktu ‘Ashar pun telah tiba, sebagian sahabat
berkata, ‘Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan setelah tiba di Bani
Quraizhah, sebab Nabi SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali salah seorang di
antara kalian melakukan shalat ‘Ashar melainkan (bila sudah tiba) di Bani
Quraizhah”, karenanya kita mengatakan, “Sami’nâ wa atha’nâ” (Kami dengar dan
kami patuh).
Sebagian sahabat yang lain menafsirkan perkataan Nabi SAW berbeda, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bermaksud agar kita bergegas dan bergerak cepat keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat”. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam menafsirkan perintah Nabi SAW tersebut kemudian sampai ke telinga Rasulullah, namun beliau membenarkan keduanya dan tidak mencela salah seorang pun di antara mereka. Artinya Rasulullah SAW mentolerir perbedaan pendapat sepanjang hal itu didasarkan pada dalil (dalam hal ini sabda Nabi). Maka adalah salah jika menganggap ilmu kalam dan ilmul ushul fiqih menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat. karena perbedaan ini telah timbul sejak lama sebelum munculnya ilmu kalam dan ushul fiqih.
Aisyah juga pernah berbeda pendapat dengan Abdullah bin Amru. Dari Ubaid bin Umar berkata : Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin Amru memerintahkan para wanita untuk melepas kepangan rambut saat mandi. Aisyah berkata : anaeh sekali pendapat ibnu amru ini. Dia menyuruh kaum wanita mengurai kepangan rambutnya ketika mandi. Kenapa tidak menyuruh mencukur rambut sekalian? Aku sendiri pernah mandi bersama Rasulullah SAW dalam satu wadah dan aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga kali siraman (H.R. Muslim I/179)
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair saling berbeda pendapat tentang praktek ibadah haji tamattu. Dari Sa’id bin Musayyab Ali berkata kepada Utsman : Tak ada yang kamu inginkan selain melarang perkara yang Nabi SAW sendiri melakukannya. (yaitu Utsman melarang Haji Tamattu sedangkan Ali melihat Nabi SAW melakukan hal itu). Melihat Utsman tetap pada pendapatnya maka Ali pun berihram untuk haji dan umrah sekaligus. Dari Muslim Al Qurri dia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. tentang haji tamattu. Ternyata ia membolehkannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Lalu Ibnu Abbas berkata : ini ibunya Ibnu Zubair sendiri yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW membolehkannya.
Jadi, perbedaaan pendapat telah terjadi sejak jaman para sahabat Nabi dimana saat itu belum ada ilmu ushul fiqih. Maka sngat berlebihan jika berpendapat bahwa ilmu Ushul Fiqihlah penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan sahabat dan ulama terdahulu, hanya berkisar pada masalah furu'iyah atau fikih, karena pemahaman dan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Justru ilmu ushul fiqih timbul untuk merumuskan berbagai metoda (cara) pengambilan kesimpulan hukum atas nash / dalil agar tidak terjadi kesimpang siuran.
Sebagian sahabat yang lain menafsirkan perkataan Nabi SAW berbeda, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bermaksud agar kita bergegas dan bergerak cepat keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat”. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam menafsirkan perintah Nabi SAW tersebut kemudian sampai ke telinga Rasulullah, namun beliau membenarkan keduanya dan tidak mencela salah seorang pun di antara mereka. Artinya Rasulullah SAW mentolerir perbedaan pendapat sepanjang hal itu didasarkan pada dalil (dalam hal ini sabda Nabi). Maka adalah salah jika menganggap ilmu kalam dan ilmul ushul fiqih menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat. karena perbedaan ini telah timbul sejak lama sebelum munculnya ilmu kalam dan ushul fiqih.
Aisyah juga pernah berbeda pendapat dengan Abdullah bin Amru. Dari Ubaid bin Umar berkata : Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin Amru memerintahkan para wanita untuk melepas kepangan rambut saat mandi. Aisyah berkata : anaeh sekali pendapat ibnu amru ini. Dia menyuruh kaum wanita mengurai kepangan rambutnya ketika mandi. Kenapa tidak menyuruh mencukur rambut sekalian? Aku sendiri pernah mandi bersama Rasulullah SAW dalam satu wadah dan aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga kali siraman (H.R. Muslim I/179)
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair saling berbeda pendapat tentang praktek ibadah haji tamattu. Dari Sa’id bin Musayyab Ali berkata kepada Utsman : Tak ada yang kamu inginkan selain melarang perkara yang Nabi SAW sendiri melakukannya. (yaitu Utsman melarang Haji Tamattu sedangkan Ali melihat Nabi SAW melakukan hal itu). Melihat Utsman tetap pada pendapatnya maka Ali pun berihram untuk haji dan umrah sekaligus. Dari Muslim Al Qurri dia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. tentang haji tamattu. Ternyata ia membolehkannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Lalu Ibnu Abbas berkata : ini ibunya Ibnu Zubair sendiri yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW membolehkannya.
Jadi, perbedaaan pendapat telah terjadi sejak jaman para sahabat Nabi dimana saat itu belum ada ilmu ushul fiqih. Maka sngat berlebihan jika berpendapat bahwa ilmu Ushul Fiqihlah penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan sahabat dan ulama terdahulu, hanya berkisar pada masalah furu'iyah atau fikih, karena pemahaman dan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Justru ilmu ushul fiqih timbul untuk merumuskan berbagai metoda (cara) pengambilan kesimpulan hukum atas nash / dalil agar tidak terjadi kesimpang siuran.
Barakallahufiikum
Wassalamualaikum
Wassalamualaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar