Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum
A. PENGERTIAN AIMAN
Kata aiman (huruf hamzah diharakati fathah) adalah
bentuk jama’ dari yamin (sumpah). Menurut bahasa, kata yamin asal
artinya yad ‘tangan’. Kemudian digunakan untuk arti sumpah, karena kebiasaan
orang Arab manakala bersumpah masing-masing dari mereka memegang tangan kanan
rekannya.
Sedangkan menurut pengertian secara syar’i, kata yamin
adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya.
B.
DENGAN APAKAH SUMPAH ITU MENJADI SAH?
Sumpah tidak teranggap, tidak sah, kecuali dengan
menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu sifat-Nya.
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw pernah menjumpai
Umar bin Khattab yang sedang bepergian di tengah kafilah bersumpah dengan
(menyebut nama) bapaknya, lantas Beliau bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya
Allah melarang kalian bersumpah dengan (menyebut nama) bapak kalian;
barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan (menyebut nama) Allah,
atau diamlah!”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 530 no: 6646, Muslim III: 1267 no: 3 dan 1646, ’Aunul Ma’bud IX: 77 no: 3233 dan Tirmidzi III: 45 no: 1573).
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 530 no: 6646, Muslim III: 1267 no: 3 dan 1646, ’Aunul Ma’bud IX: 77 no: 3233 dan Tirmidzi III: 45 no: 1573).
Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi saw bersabda, “Neraka
Jahannam selalu bertanya, ’Apakah masih ada tambahan?’ hingga Rabb Yang
Memiliki Keperkasaan meletakkan kaki-Nya padanya. Lalu Jahannam berkata,
‘Cukup-cukup, demi Keperkasaan-Mu’. Dan, Dia mengumpulkan sebagian api neraka
itu pada sebagian yang lain.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 545 no: 6661, Muslim IV: 2187 no: 2848 dan Tirmidzi V: 65 no: 3326).
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 545 no: 6661, Muslim IV: 2187 no: 2848 dan Tirmidzi V: 65 no: 3326).
C.
BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT SELAIN NAMA ALLAH ADALAH SYIRIK
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah,
maka sungguh ia telah kafir atau musyrik.”
(Shahih: Shahihul Jami’ no: 6204 dan Tirmidzi III: 45 no: 1574).
(Shahih: Shahihul Jami’ no: 6204 dan Tirmidzi III: 45 no: 1574).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa di antara kalian bersumpah, lalu di dalam sumpahnya
ia mengatakan, Demi Latta, maka hendaklah ia menyebut, LAA ILAAHA
ILLALLAH. Dan barangsiapa berkata kepada rekannya, ’Mari kita main judi’, maka
hendaklah ia bershadaqah.”
(Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1267 no: 1647, Nasa’i VII: 7, ’Aunul Ma’bud IX: 74 no: 3231 dengan tambahan ”FAL YATASHADDAQ BI SYAI-IN” (Maka hendaklah ia bershadaqah sesuatu), dan Fathul Bari XI: 536 no: 6650 dengan tambahan BILLAATA WAL ’UZZA (=dengan (menyebut nama) Latta dan ’Uzza).
(Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1267 no: 1647, Nasa’i VII: 7, ’Aunul Ma’bud IX: 74 no: 3231 dengan tambahan ”FAL YATASHADDAQ BI SYAI-IN” (Maka hendaklah ia bershadaqah sesuatu), dan Fathul Bari XI: 536 no: 6650 dengan tambahan BILLAATA WAL ’UZZA (=dengan (menyebut nama) Latta dan ’Uzza).
D.
SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Sebagian orang ada yang bersumpah dengan menyebut selain
nama Allah dengan dalih karena mereka khawatir berdusta dan merujuk pada
firman-Nya:
“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu
sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan.” (QS al-Baqarah: 224).
Jawaban atas syubhat ini ialah sebagaimana yang tertuang
dalam riwayat berikut.
Dari Mis’ar bin Kidam dari Wabirah bin Abdurrahman bahwa
Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya bersumpah palsu dengan (menyebut
nama) Allah lebih kusukai dari pada saya bersumpah secara jujur
(dengan menyebut nama selain-Nya).” (ath-Thabrani dalam al-Kabir IX: 205
no: 8902).
Adapun ayat al-Baqarah itu, maknanya adalah sebagaimana
yang diketengahkan Ibnu Katsir rahimahullah dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,
”Janganlah sekali-kali kamu memposisikan sumpahmu sebagai penghalang agar kamu
tidak berbuat kebajikan. Akan tetapi bayarlah kafarat untuk menebus sumpahmu,
kemudian kerjakanlah kebajikan.”
Ibnu Katsir menulis, ”Masruq, asy-Sya’bi, Ibrahim,
an-Nakha’i, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Athaa’, Ikrimah, Makhul,
Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Rubayyi’ bin Anas,
adh-Dhahhak, Atha’ al-Khurasan dan as-Sudi rahimahumullah memiliki penafsiran
yang sama dengan Ibnu Abbas.” Selesai (Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
E.
BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT AGAMA SELAIN ISLAM
Dari Tsabit bin Dhahhak ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, ”Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut) agama selain Islam
dengan dusta dan sengaja, maka ia sebagaimana yang ia katakan.”
(Muttafaqun
’alaih: Muslim I: 105 no: 177 dan 110 dan lafadz ini miliknya, Fathul Bari XI:
537 no: 6652, ’Aunul Ma’bud IX: 83 no: 3240, Tirmidzi III: 50 no: 1583, Nasa’i
VII: 6 dan Ibnu Majah I: 678 no: 2098.
Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya ra bahwa
Rasulullah saw bersabda, ”Siapa saja yang menyatakan, ’Sesungguhnya saya
berlepas diri dari Islam,’ Bila ia berdusta maka ia sebagaimana yang nyatakan;
jika ia jujur maka dia tidak lagi kembali ke dalam Islam secara
utuh.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2576, ’Aunul Ma’bud IX: 85 no: 3241,
Nasa’i VII: 6 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2100).
F.
ORANG YANG DISURUH BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH HARUS RIDHA
Dari Ibnu Umar ra, ia berceritera: Nabi saw pernah
mendengar seorang shahabat bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lalu Beliau
saw bersabda, ”Janganlah kamu bersumpah dengan (menyebut nama)
bapak-bapakmu! Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka
hendaklah ia jujur. Dan barangsiapa diminta bersumpah dengan (menyebut nama)
Allah, maka hendaklah ia ridha; barangsiapa yang tidak ridha kepada Allah, maka
bukanlah ia termasuk orang yang dekat dengan Allah.”
(Shahih: Shahih Ibnu
Majah no: 1708 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2101).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Isa
bin Maryam pernah melihat seorang laki-laki mencuri, lalu ia bertanya, ‘Apakah
engkau telah mencuri?’ Jawab sang laki-laki, ‘Tidak. Demi Dzat yang tiada Ilah
(yang patut diibadahi) kecuali Dia.’ Kemudian Isa berkata, ‘Saya beriman kepada
Allah, dan saya mendustakan penglihatanku.”
(Muttafaqun’alaih: Fathul Bari
VI: 478 no: 3444, Muslim IV: 1838 no: 2368, Nasa’i VIII: 249 dan Ibnu Majah I:
679 no: 2102).
G.
KLASIFIKASI YAMIN
Yamin (sumpah) terbagi menjadi tiga bagian:
Al-Yaminul Laghwi (sumpah sia-sia).
Al-Yaminul Ghamus (sumpah palsu).
Al-Yaminul Mun’aqadah (sumpah yang sah).
1.
Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak
dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa
mengatakan, “WALLAHI LATA'KULANNA” artinya “Demi Allah kamu
benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi
Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan
untuk bersumpah.
Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai
akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan menghukm kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah:
225).
Allah swt berfirman lagi:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maidah: 89).
Dari Aisyah ra (tentang firman Allah), “Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk
bersumpah)”, ia berkata, ”Ayat ini turun pada perkataan orang Arab: LAA
WALLAAHI, WA BALAA WALLAAHI (=tidak, demi Allah, dan tentu, demi Allah).”
(Shahih Abu Daud no: 2789 dan Fathul Bari XI: 547 no: 6663).
2.
Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang
dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat
fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke
dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka.
Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar
dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa
ditebus dengan kafarah. Yamin, sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan
sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat
penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh
tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi
(manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl:
94).
Imam ath-Thabari ra menulis, ”Ma’na ayat ini ialah
janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah yang kamu ucapkan itu, yang kamu
berjanji hendak menyempurnakan perjanjian kepada rekan-rekanmu seperjanjian,
janganlah kamu jadikan sebagai penipuan dan pengkhianatan supaya orang-orang
percaya betul kepada kalian, sedangkan kalian menyembunyikan niat busuk hendak
berlaku curang kepada mereka.”
(Tafsir ath-Thabari XIV: 166).
Dari Abdullah bin Amr ra dari Nabi saw Beliau
bersabda, “Dosa-dosa besar (di antaranya) ialah: menyekutukan Allah,
durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (tak berdosa), dan sumpah
palsu.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4601, Fathul Bari XI: 555
no: 6675, Nasa’i VII: 89 dan Tirmidzi IV: 303 no: 5010).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Ada lima perkara (yang dosanya) tidak bisa ditebus dengan
membayar kafarah, (pertama) menyekutukan Allah swt, (kedua) membunuh jiwa
dengan cara yang tidak haq, (ketiga) merampas (harta) orang mukmin, (keempat)
melarikan diri pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (kelima) sumpah palsu
yang dimaksudkan untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak
benar.”
(Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3247 dan al-Fathur Rabbani XIV: 68 no: 220).
(Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3247 dan al-Fathur Rabbani XIV: 68 no: 220).
3.
Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja
dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk
melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.
Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan
baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya,
maka ia harus menebus dengan membayar kafarah.
Ini didasarkan pada firman Allah
swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz,
atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 - 745.
H. SUMPAH BERGANTUNG PADA NIAT
Dari Umar bin Khattab ra, ia pernah mendengar Rasulullah
saw bersabda, ”Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (Muttafaqun
’alaih: Shahih Bukhari I: 9 no: 1, Muslim III: 1515 no: 1907, )
Oleh karena itu, barangsiapa bersumpah untuk melakukan
sesuatu, lalu yang diucapkan berlainan dengan yang diniatkan, maka yang
teranggap adalah yang diniatkan, bukan yang diucapkan.
Dari Suwaid bin Hanzhalah ra, ia bercerita, ”Kami keluar
hendak menemani Rasulullah saw bersama Wail bin Hujr ra, lalu ia ditahan oleh
musuhnya. Kemudian para sahabat keberatan untuk mengucapkan sumpah, lalu saya
mengucapkan sumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku, lalu ia dilepaskan.
Kemudian, kami datang menemui Rasulullah saw, lalu saya informasikan kepada
Beliau bahwa para shahabat merasa keberatan untuk bersumpah, lalu saya
bersumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku.” Maka Rasulullah
bersabda, ”Engkau benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.”
(Shahih, Shahih Ibnu Majah no: 1722, Ibnu Majah I: 685 no: 2119 dan
’Aunul Ma’bud IX: 82 no: 3239).
Niat seorang yang bersumpah hanyalah akan dianggap jika
ia tidak dimintai untuk bersumpah. Adapun jika ia diminta untuk bersumpah maka
sumpah itu tergantung pada niat orang yang meminta sumpah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
sumpah itu hanya bergantung pada niat orang yang meminta sumpah.”
(Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 1723, Ibnu Majah I: 685 no: 2120, Muslim LXXIII: 1274 no:
21 dan 1653 tanpa kata INNAMAA).
Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Sumpahmu bergantung pada apa yang dibenarkan oleh
rekanmu.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah: no: 1724, Muslim III: 1274 no: 1653,
Ibnu Majah I: 686 no: 2121, ‘Aunul Ma’bud IX: 80 no: 3238 dan Tirmidzi II: 404
no: 1365).
I. TIDAK DIANGGAP MELANGGAR SUMPAH ORANG YANG MENYALAHI SUMPAHNYA KARENA LUPA ATAU KELIRU
Barangsiapa yang bersumpah tidak akan mengerjakan
sesuatu, lalu ternyata ia melakukannya karena lupa atau karena keliru, maka ia
tidak dianggap melanggar sumpahnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami bersalah.” (QS al-Baqarah: 286).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
Bahwasannya Allah menjawab, “Ya.”
(Shahih: Shahih Nasa’i
no: 3588 dan Muslim I: 115 no: 125).
J. PENGECUALIAN DALAM SUMPAH
Barangsiapa bersumpah, lalu mengucapkan “INSYA ALLAH”,
berarti ia telah melakukan pengecualian, dan tidak dianggap melanggarnya bila
ia menyalahinya:
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau
bersabda: Nabiyullah Sulaiman bin Dawud berkata, “(Demi Allah), saya
benar-benar akan menggilir tujuh puluh isteri pada malam ini, yang kesemuanya
akan melahirkan seorang anak yang akan berperang di jalan Allah.” Kemudian
rekannya atau seorang malaikat berkata (kepadanya), “Ucapkanlah, INSYA ALLAH
(Jika Allah menghendaki).” Namun dia tidak mengucapkannya dan ia lupa, maka
tidak seorangpun di antara isteri-isterinya yang melahirkan seorang anak
kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang cacat. Kemudian Rasulullah
saw bersabda, “Andaikata dia mengucapkan INSYA ALLAH, maka ia tidak
(dianggap) melanggar sumpahnya, dan ia pasti akan memperoleh hajat
(permohonan)nya.”
(Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1275 no: 23 dan 1654 dan
lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 534 no: 6639 dan Nasa’i VII: 25).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa bersumpah dan mengucapkan pengecualian (insya
Allah), maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan
tanpa (dianggap) melanggar sumpahnya.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:
1711, Ibnu Majah I: 680 no: 2105, ‘Aunal Ma’bud IX: 88 no: 3245, dan Nasa’i
VII: 12).
K.
ORANG YANG BERSUMPAH UNTUK MELAKUKAN SESUATU, LALU MELIHAT ADA YANG LEBIH
BAIK DARIPADA APA YANG DISUMPAHKAN
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya
lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan
hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kafarah!”
(Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 2004, Muslim III: 1272 no: 13 dan 1650 dan Tirmidzi III: 43 no:
1569).
L. DILARANG TERUS-MENERUS BERSUMPAH
Allah swt berfirman:
“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu
sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah
diantara manusia. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.”(QS
al-Baqarah: 224).
Ibnu Abbas ra berkata, “Janganlah sekali-kali kamu
menjadikan sumpahmu sebagai penghalang untuk melakukan kebajikan; namun
tebuslah sumpahmu dengan membayar kafarah dan kerjakanlah segala kebajikan!”
(Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, Beliau
bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya seorang di antara kamu terus-menerus
bersumpah di tengah keluarganya adalah lebih besar dosanya menurut pandangan
Allah daripada membayar kafarahnya yang telah diwajibkan
Allah.”
(Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XI: 517 no: 2625 dan Muslim III:
1276 no: 1655).
M. KAFARAH SUMPAH
Barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka kafarahnya
salah satu dari tiga alternatif ini:
Memberi makan sepuluh orang miskin makanan yang biasanya
kita berikan kepada keluarga kita.
Atau memberi pakaian kepada mereka.
Atau memerdekakan seorang budak.
Kemudian barangsiapa tidak mampu melaksanakan salah satu
dari tiga alternatif di atas, maka kafarahnya harus berpuasa tiga hari. Tidak
boleh membayar kafarah dengan jalan berpuasa selagi mampu melaksanakan salah
satu dari tiga alternatif itu.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafarahnya
puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu, bila
kamu bersumpah (lalu kamu melanggar).” (QS al-Maa-idah: 89).
N.
BERSUMPAH DENGAN KATA HARAM
Barangsiapa mengatakan, ”Makananku haram atas diriku,”
atau, ”Haram atas diriku masuk ke dalam rumah si Fulan,” dan semisalnya yang
sejatinya termasuk perbuatan yang tidak diharamkan Allah atasnya, maka jika ia
melanggar sumpah termaksud ia harus membayar kafarah sumpah:
Allah swt berfirman:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah
Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekali membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS at-Tahriim: 1-2).
Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah meneguk
madu di (rumah) Zainab binti Jahsy (salah satu isterinya) dan tinggal (beberapa
hari) bersamanya, kemudian saya dan Hafshah sepakat, (jika) Rasulullah saw
masuk ke rumah siapa saja di antara kami berdua, maka hendaklah dia (juga)
bertanya kepada Beliau, ”Apakah engkau sudah makan getah pohon? Karena
sesungguhnya aku mencium getah pohon padamu.” Maka jawab Beliau, ”Tidak,
namun saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan
minum lagi dan sungguh aku telah bersumpah janganlah engkau menceritakan hal
ini kepada siapapun.”
(Shahih: Shahih Nasa’i no: 3553 dan Fathul Bari
VIII: 656 no: 4912).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Tentang (sumpah
menggunakan kata) haram ada kafarahnya (kalau dilanggar), (lalu ia membaca
ayat), ’LAQAD KAANA LAKUM FII RASUULILLAHI USWATUN HASANAH(=Sungguh pada diri
Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik).”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz,
atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 737 - 751.
Barakallahufiikum..semoga bermanfaat
Wassalamualaikum
Wassalamualaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar